Salah satu masa yang tak pernah terlupakan di masa kuliah adalah masa berburu buku-buku murah. Maklum mahasiswa, minat baca besar tapi isi kantong tak mencukupi untuk beli buku. Untungnya di kampus sering ada bursa buku murah. Pesertanya selain penerbit-penerbit besar juga pedagang-pedagang buku bekas dari pasar Senen. Walaupun disebutkan buku murah tapi harga sebuah buku baru dari penerbit besar masih terbilang mahal untuk kantongku yang uang bulanannya masih tergantung kiriman ortu. Maka buatku yang paling menarik justru lapak buku bekas dari Senen itu. Walaupun buku-buku yang dijual adalah buku bekas (kalau pun ada yang baru adalah buku bajakan atau buku salah cetak dari penerbit) tapi aku bisa betah lama-lama nongkrong di sana. Rasanya seakan sedang bertualang ke dunia lain saat jongkok di depan lapak, membolak-balik buku yang bertumpuk-tumpuk sambil ngobrol dengan si abang penjual buku. Apalagi kalau sudah menemukan buku yang menarik wah...rasanya seakan dapat durian runtuh!
Tapi perjuangan belum selesai. Masih ada proses tawar-menawar harga buku yang butuh keterampilan sendiri. Pedagang-pedagang itu juga menguasai ilmu psikologi lho... Walaupun kita ingin sekali membeli buku yang sudah ditemukan, menawarnya tetap harus dengan tampang ‘cool’. Sekali mereka tahu kita sangat bernafsu dengan sebuah buku, mereka akan pasang harga tinggi dan bertahan tak mau menurunkan harga hingga akhirnya kita menyerah, pergi dengan gigit jari atau membayar dengan harga tinggi. Ada yang bertahan dengan pasang tampang sangar, ada yang memberi alasan bukunya bagus dan langka, ada juga yang hanya menggeleng-geleng kepala tak jelas apa artinya. Jadi seperti psy-war hehehe... siapa yang pintar menggertak bisa menang....
Aku adalah penggemar buku-buku karangan Karl May, selain komik-komik Asterix dan Tintin. Kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou yang ditulis oleh Karl May sangat memukauku sejak kecil. Tapi sayang di toko buku jarang sekali karangan Karl May ditemukan. Maka jadilah lapak-lapak buku bekas itu sebagai tempat alternatif berburu buku idaman. Perburuanku akhirnya membawaku bertualang ke lorong-lorong di pinggiran terminal Senen, markas para penjual buku bekas yang sering diundang ke kampus. Pelan-pelan koleksi buku Karl May mulai bertambah. Walaupun tidak semua dalam kondisi yang masih bagus asalkan masih terbaca aku sudah senang sekali. Karena sering datang ke sana aku jadi akrab dengan mereka. Akhirnya hampir semua pedagang tahu aku ‘pemburu buku Winnetou’ dan kalau melihat aku datang mereka langsung menyapa sambil bertanya sudah lengkapkah koleksi buku Winnetou-ku. Bahkan ada yang berinisiatif mencarikan buku-buku tersebut, menyimpankannya sampai aku datang lagi ke tempat mereka.
Temanku-temanku banyak yang merasa takjub akan keakrabanku dengan para pedagang itu. ‘Sama-sama Batak sih, ya gampanglah urusannya”. Begitulah komentar yang sering dilontarkan teman-teman. Ya, sebagian besar pedagang itu berasal dari Tapanuli dan kesamaan latar belakang suku kami mungkin membuatku lebih mudah menjalin komunikasi dengan mereka. Tapi apakah hanya karena itu? Tentu tidak. Tak sedikit dari mereka yang juga memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan pengetahuan umum yang luas. Hidup di kota besar dan mencari nafkah di sektor nonformal membuat mereka menjadi orang-orang yang gigih. Kalau kita mau meluangkan cukup waktu untuk bicara dengan mereka, kita akan diajari bagaimana cara bertahan hidup dengan gigih. Kalau si pembeli sudah jadi segigih sang pedagang, proses tawar menawar buku pasti jadi lebih seru ya?
1 komentar:
Sama, mbak. aku juga penggemar berat karl may.
Posting Komentar