Selasa, 05 Mei 2009

Keadilan di mata seorang anak berumur 6 tahun

Ada kejadian yang mengagetkan dan membuatku merenung saat aku menemani Sarah ikut tanding olah raga beberapa minggu lalu. Menurut informasi gurunya, olimpiade itu akan dilaksanakan di Gedung Olah Raga Cilegon dan akan dibuka oleh pak walikota. Ternyata pelaksanaan olimpiade tidak di dalam gedung olah raga, melainkan di lapangan di sebelah GOR. Hari itu sekitar 300 murid TK dari seluruh kota Cilegon, beserta guru dan orang tua yang mendampingi sudah hadir sejak pukul 7.30 pagi. Mereka harus ikut upacara pembukaan dulu yang akan dipimpin oleh pak walikota. Tapi seperti biasa pemimpin zaman sekarang, entah kenapa mereka senang sekali membuat orang lain menunggu... Selama menunggu anak2 itu harus tetap baris di lapangan di tengah panas matahari yang menyengat. Sampai pukul 9 walikota baru datang dan rangkaian acara pun dilaksanakan.

Apa komentar Sarah setelah usai upacara? Masih dengan wajah merah kepanasan dan keringat bercucuran, dia berkata:

"Bu, tadi itu benar-benar nggak adil. Sarah sebel! Masak tadi waktu di lapangan, kami anak-anak kecil disuruh baris di lapangan, kena panas, terus pak walikota dan orang-orang dewasa yang lain duduk di bawah tenda. Kan kebalik?! Harusnya anak-anak yang di tenda biar nggak kepanasan. Orang dewasa kan udah lebih kuat daripada anak-anak, harusnya mereka yang kena panas!"

Wow!!! Subhanallah.... anakku ternyata cukup kritis dan cerdas membaca situasi yang baru dihadapinya. Semoga aku terus bisa mendidikmu menjadi anak yang berhati nurani nak. Semoga aku terus diberi kekuatan untuk mengajarkanmu mengatakan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah, sepahit apa pun resikonya.

Kamis, 22 Januari 2009

Taiko

Dari kemarin, aku tenggelam dalam novel TAIKO, karangan Eiji Yoshikawa...itu lho si pengarang buku Musashi. Ceritanya seputar kisah 3 laki-laki yang sama-sama bercita-cita menguasai dan mempersatukan Jepang namun memiliki karakter yang berbeda-beda.

Nobunaga: gegabah, tegas, brutal.
Hideyoshi: sederhana, halus, cerdik, kompleks.
Ieyasu: tenang, sabar, penuh perhitungan.

Falsafah-falsafah yang berlainan ini dari dulu diabadikan oleh orang Jepang dalam sebuah sajak terkenal:
bagaimana jika seekor burung tidak mau berkicau?
Nobunaga menjawab: "Bunuh burung itu!"
Hideyoshi menjawab: "Buat burung itu ingin berkicau"
Ieyasu menjawab: "Tunggu"

Dan aku sedang belajar dari kisah seorang laki-laki yang membuat burung INGIN berkicau.

Rabu, 26 November 2008

Kenapa sih di Rumah Kita Banyak Aturannya?

"Kenapa sih, Bu, di rumah kita banyak banget aturan? Harus makan banyak, harus tidur siang... Kayaknya di rumah orang nggak ada aturan begitu."
Saat itu pukul 2 siang, setelah selesai makan siang dan kuberi kesempatan menonton Unyil dan Jalan Sesama, anak-anak kuminta untuk tidur siang. Aku agak tersentak mendengar protes gadis kecilku siang itu. Anakku yang bulan Desember depan baru berumur 6 tahun, sudah bisa melancarkan protes nih.... Ada apa gerangan? Adakah sesuatu yang salah, atau dia sekedar mencari penjelasan dari situasi yang sedang dihadapinya? Hhhh, tarik napas dulu sebelum angkat bicara...
"Ibu dan Ayah menerapkan aturan tidak untuk menyusahkan kok. Aturan itu dibuat supaya hidup kita jadi lebih mudah."
"Tapi Sarah nggak suka kalau tiap hari harus tidur siang..."
"Kalau kamu nggak tidur siang, kamu jadi kurang istirahat. Kalau setiap hari kamu kurang istirahat kamu jadi gampang sakit. Sudah beberapa kali terbukti 'kan karena nggak tidur siang kamu lalu sakit? Kalau sakit kamu malah nggak bisa main, nggak bisa sekolah, nggak bisa makan es krim."
"Iya..."
"Makanya Ibu dan Ayah buat aturan, Sarah dan Ruby harus tidur siang".
"Berarti di rumah anak-anak itu nggak ada aturannya ya Bu?", dia menunjuk ke halaman, ke arah anak-anak tetangga yang masih asyik bermain di luar siang itu. Wah, udah mulai keluar nih penilaian kritisnya.
"Pasti di rumahnya ada aturan juga. Tapi mungkin aturannya berbeda dengan yang Ibu dan Ayah terapkan. Mungkin tidur siang tidak dianggap penting oleh orang tuanya. Nah, sekarang tidur ya."
Aku masih melihat ada rasa kurang puas di hatinya, tapi siang itu dia berusaha untuk patuh dan tidur.

Malam harinya aku ingat janjiku untuk mengajaknya belajar mengukir. Dengan berbekal sebatang sabun dan sebatang lilin sebagai media mengukir, aku mengajak Sarah dan adiknya bersama-sama belajar mengukir karena aku memang belum pernah melakukan hal itu sebelumnya. Bertiga kami menuangkan 'kreativitas' dengan bebas sekali. Walaupun malam itu sabun dan lillin hanya menjadi potongan-potongan yang susah dikenali wujudnya, namun aku bahagia melihat rasa senang yang terpancar dari wajah keduanya.
Kemudian Sarah berkata, "Ternyata di rumah ini nggak cuma banyak aturan ya Bu. Kita juga bisa bersenang-senang."
Akhirnya dia dapat menyadari bahwa orang tuanya tak bermaksud untuk setiap saat mengekangnya dengan aturan tapi juga bisa mengajaknya bersenang-senang. Tapi kok aku belum lega ya???

Kesempatan untuk menjelaskan tentang aturan itu datang di Minggu pagi. Dalam suasana santai, sehabis sarapan, aku dan ayahnya mengajak Sarah untuk membahas soal 'aturan' itu lebih jauh.
"Seandainya tidak ada aturan, Ayah nggak akan pulang menemui kalian, nggak pernah kasih uang untuk kita belanja, dan nggak akan memasukkan Saarah sekolah"
"Kenapa begitu, Yah?" suaranya terdengar kaget.
"Karena tidak ada aturan, Ayah bisa sesuka hati berbuat apa saja"
"Kalau tanpa aturan, Ibu juga tidak akan memberi kalian makanan sehat, belum tentu ada di rumah saat Sarah pulang sekolah.."
"Wah, nggak enak...."
"Nah, karena itu ada aturan. Aturannya ayah dan ibu harus memperhatikan keluarga, mengurus anak-anaknya, menyekolahkan, supaya anak-anaknya terpelihara dengan baik."
"Ternyata kalau nggak ada aturan nggak enak. Makanya aturan itu perlu ya?"
"Iya, Nak." (Semoga kau mengerti, dan siap menghadapi kelak kau akan mendapati berbagai macam aturan, yang memudahkan maupun yang menyulitkan hidupmu....)

Jumat, 14 November 2008

Dari Amrozi ke Oprah

Suatu pagi aku sedang mendengar berita tentang eksekusi mati Amrozi Cs, pelaku Bom Bali I. Ah, akhirnya....berakhir juga kisah mereka. Orang-orang yang dengan perbuatannya telah membuat resah dan merana begitu banyak orang lain...

Sambil mendengar berita itu aku jadi teringat beberapa minggu yang lalu ketika melihat acara Oprah Show. Tema hari itu, "Kalau anda diberi kesempatan untuk menghabiskan satu hari bersama seseorang, anda ingin bersama siapa?"
Setiap tamu Oprah memberi jawaban beragam, ada yang ingin kembali merasakan saat-saat menyenangkan berkuda bersama ayahnya, ada yang ingin kembali dikunjungi kakek-neneknya karena mereka selalu pandai menghibur dan membuat masakan-masakan enak, ada yang ingin bersama suami sarapan pagi dan membicarakan berbagai masalah dengan santai, ada yang merasa tak pernah cukup waktu mendengarkan anak-anaknya bicara....

Dari keragaman jawaban tersebut, ada satu hal yang sama yaitu bahwa semua orang yang ingin ditemui kembali oleh setiap tamu adalah orang-orang yang telah meninggal dan karena itu tak mungkin untuk ditemui kembali.

Setelah melihat acara itu, aku jadi merenung, mengapa orang-orang yang dibicarakan tamu-tamu Oprah itu menjadi begitu dirindukan? Mengapa orang-orang itu jadi teramat berkesan? Ternyata mereka dirindukan karena masing-masing memiliki nilai kebaikan yang sangat membekas dalam ingatan. Kehadiran mereka membuat orang lain menjadi bahagia, terhibur, dan nyaman. Alangkah nikmatnya memang kalau kita setiap saat kita dapat berkumpul dengan orang-orang seperti itu. Kehadiran yang memberikan energi positif buat orang lain, hmmm....betapa hidup yang mulia.

Akankah aku dikenang demikian oleh orang lain saat aku telah pergi? Mampukah aku membahagiakan orang-orang di sekitarku? Yang jelas aku tak ingin berkhir seperti Amrozi Cs, yang perilakunya selama hidup telah menyebar teror dan kedukaan bagi banyak orang.

Rabu, 21 Mei 2008

Pesan Seorang Anak untuk Ayah dan Ibu

1. Jangan manjakan aku. Aku tahu bahwa tak semua keinginanku dapat terpenuhi. Kadang-kadang aku hanya ingin mengujimu.
2. Jangan takut untuk bersikap tegas padaku. Aku sangat menyukainya karena dapat membuatku merasa aman.
3. Jangan biarkan aku memiliki kebiasaan buruk. Kuharap ayah dan ibu dapat mencegahku.
4. Jangan menganggapku selalu sebagai anak kecil. Hal itu hanya akan membuatku bersikap kekanakan.

5. Kalau bisa, jangan mengoreksi kesalahanku di depan umum. Nasehatmu akan lebih menyentuh hatiku bila kalian degan tenang mengajak aku bicara secara pribadi.

6. Jangan membuatku merasa bahwa kesalahanku adalah dosa. Hal itu akan menghancurkan keyakinanku pada nilai-nilai yang harus kuanut.

7. Jangan takut untuk membuatku merasakan akibat dari perbuatanku, bahkan akibat yang buruk sekalipun. Kadang-kadang aku perlu belajar dari kesalahanku.

8. Jangan terlalu gusar saat aku berkata ‘Aku membencimu’. Bukan dirimu yang kubenci, namun kekuasaanmu yang mengekangku.

9. Jangan terlalu perhatikan rengekanku untuk hal-hal kecil. Itu hanya caraku untuk mendapatkan perhatianmu.

10. Jangan berteriak padaku. Hal itu hanya akan membuatku melindungi diri dengan berpura-pura tak mendengarmu.

11. Jangan lupa bahwa aku belum bisa menyampaikan dengan jelas pikiran dan perasaanku sehingga aku tak selalu bisa memberikan gambaran yang tepat tentang diriku.

12. Jangan abaikan aku saat aku bertanya. Kalau Ayah dan Ibu melakukannya, aku akan berhenti bertanya pada kalian dan akan mencari penjelasan dari tempat lain.

13. Jangan bersikap tak konsisten. Hal itu hanya akan membuatku bingung dan tak percaya lagi pada kalian.

14. Jangan anggap remeh rasa takutku. Rasa takut itu nyata dan banyak yang dapat Ayah dan Ibu lakukan untuk membantuku jika kalian mau mencoba memahaminya.

15. Jangan coba meyakinkan aku bahwa kalian adalah orang yang sempurna. Aku akan sangat kecewa bila suatu saat menemui kenyataan bahwa Ayah dan Ibu tak sesempurna yang kubayangkan.

16. Jangan berpikir bahwa meminta maaf padaku hanya akan mengurangi wibawamu. Permintaan maaf yang tulus akan membutku sangat menghargai Ayah dan Ibu.

17. Jangan lupa, aku sangat suka mencoba-coba berbagai hal. Itu adalah caraku belajar. Jadi biarkanlah aku malakukannya.

18. Jangan lupa juga betapa cepatnya aku tumbuh besar. Pasti berat bagi Ayah dan Ibu untuk menyesuaikan perlakuan kalian untuk setiap tahap perkembanganku. Tapi demi kebaikanku, lakukanlah.

19. Jangan lupa bahwa aku tak akan berhasil tanpa cinta dan pengertian dari Ayah dan Ibu. Tapi tak perlu selalu aku sampaikan hal itu kan?

20. Tetaplah sehat karena aku masih sangat membutuhkan kalian.


Judul Asli: Memo From A Child To Parents

Sumber: http://www.soundvision.com/info/parenting/

Selasa, 01 April 2008

Kodok-kodok mungil


Serangkaian VW kodok warna-warni bagus juga untuk hiasan kamar anak-anak.

Senin, 24 Maret 2008

Kubus Kecil


Aku juga buat kubus yang ukuran kecil, 3x3x3 cm. Permukaannya bisa ditempeli bermacam-macam bentuk, seperti huruf atau angka, bentuk geometris, atau logo. Yang udah pernah kubuat kubus dengan logo VW. Selain bisa jadi sarana belajar anak, kubus kecil ini bisa dijadikan gantungan kunci lho.