Rabu, 26 November 2008
Kenapa sih di Rumah Kita Banyak Aturannya?
Saat itu pukul 2 siang, setelah selesai makan siang dan kuberi kesempatan menonton Unyil dan Jalan Sesama, anak-anak kuminta untuk tidur siang. Aku agak tersentak mendengar protes gadis kecilku siang itu. Anakku yang bulan Desember depan baru berumur 6 tahun, sudah bisa melancarkan protes nih.... Ada apa gerangan? Adakah sesuatu yang salah, atau dia sekedar mencari penjelasan dari situasi yang sedang dihadapinya? Hhhh, tarik napas dulu sebelum angkat bicara...
"Ibu dan Ayah menerapkan aturan tidak untuk menyusahkan kok. Aturan itu dibuat supaya hidup kita jadi lebih mudah."
"Tapi Sarah nggak suka kalau tiap hari harus tidur siang..."
"Kalau kamu nggak tidur siang, kamu jadi kurang istirahat. Kalau setiap hari kamu kurang istirahat kamu jadi gampang sakit. Sudah beberapa kali terbukti 'kan karena nggak tidur siang kamu lalu sakit? Kalau sakit kamu malah nggak bisa main, nggak bisa sekolah, nggak bisa makan es krim."
"Iya..."
"Makanya Ibu dan Ayah buat aturan, Sarah dan Ruby harus tidur siang".
"Berarti di rumah anak-anak itu nggak ada aturannya ya Bu?", dia menunjuk ke halaman, ke arah anak-anak tetangga yang masih asyik bermain di luar siang itu. Wah, udah mulai keluar nih penilaian kritisnya.
"Pasti di rumahnya ada aturan juga. Tapi mungkin aturannya berbeda dengan yang Ibu dan Ayah terapkan. Mungkin tidur siang tidak dianggap penting oleh orang tuanya. Nah, sekarang tidur ya."
Aku masih melihat ada rasa kurang puas di hatinya, tapi siang itu dia berusaha untuk patuh dan tidur.
Malam harinya aku ingat janjiku untuk mengajaknya belajar mengukir. Dengan berbekal sebatang sabun dan sebatang lilin sebagai media mengukir, aku mengajak Sarah dan adiknya bersama-sama belajar mengukir karena aku memang belum pernah melakukan hal itu sebelumnya. Bertiga kami menuangkan 'kreativitas' dengan bebas sekali. Walaupun malam itu sabun dan lillin hanya menjadi potongan-potongan yang susah dikenali wujudnya, namun aku bahagia melihat rasa senang yang terpancar dari wajah keduanya.
Kemudian Sarah berkata, "Ternyata di rumah ini nggak cuma banyak aturan ya Bu. Kita juga bisa bersenang-senang."
Akhirnya dia dapat menyadari bahwa orang tuanya tak bermaksud untuk setiap saat mengekangnya dengan aturan tapi juga bisa mengajaknya bersenang-senang. Tapi kok aku belum lega ya???
Kesempatan untuk menjelaskan tentang aturan itu datang di Minggu pagi. Dalam suasana santai, sehabis sarapan, aku dan ayahnya mengajak Sarah untuk membahas soal 'aturan' itu lebih jauh.
"Seandainya tidak ada aturan, Ayah nggak akan pulang menemui kalian, nggak pernah kasih uang untuk kita belanja, dan nggak akan memasukkan Saarah sekolah"
"Kenapa begitu, Yah?" suaranya terdengar kaget.
"Karena tidak ada aturan, Ayah bisa sesuka hati berbuat apa saja"
"Kalau tanpa aturan, Ibu juga tidak akan memberi kalian makanan sehat, belum tentu ada di rumah saat Sarah pulang sekolah.."
"Wah, nggak enak...."
"Nah, karena itu ada aturan. Aturannya ayah dan ibu harus memperhatikan keluarga, mengurus anak-anaknya, menyekolahkan, supaya anak-anaknya terpelihara dengan baik."
"Ternyata kalau nggak ada aturan nggak enak. Makanya aturan itu perlu ya?"
"Iya, Nak." (Semoga kau mengerti, dan siap menghadapi kelak kau akan mendapati berbagai macam aturan, yang memudahkan maupun yang menyulitkan hidupmu....)
Jumat, 14 November 2008
Dari Amrozi ke Oprah
Sambil mendengar berita itu aku jadi teringat beberapa minggu yang lalu ketika melihat acara Oprah Show. Tema hari itu, "Kalau anda diberi kesempatan untuk menghabiskan satu hari bersama seseorang, anda ingin bersama siapa?"
Setiap tamu Oprah memberi jawaban beragam, ada yang ingin kembali merasakan saat-saat menyenangkan berkuda bersama ayahnya, ada yang ingin kembali dikunjungi kakek-neneknya karena mereka selalu pandai menghibur dan membuat masakan-masakan enak, ada yang ingin bersama suami sarapan pagi dan membicarakan berbagai masalah dengan santai, ada yang merasa tak pernah cukup waktu mendengarkan anak-anaknya bicara....
Dari keragaman jawaban tersebut, ada satu hal yang sama yaitu bahwa semua orang yang ingin ditemui kembali oleh setiap tamu adalah orang-orang yang telah meninggal dan karena itu tak mungkin untuk ditemui kembali.
Setelah melihat acara itu, aku jadi merenung, mengapa orang-orang yang dibicarakan tamu-tamu Oprah itu menjadi begitu dirindukan? Mengapa orang-orang itu jadi teramat berkesan? Ternyata mereka dirindukan karena masing-masing memiliki nilai kebaikan yang sangat membekas dalam ingatan. Kehadiran mereka membuat orang lain menjadi bahagia, terhibur, dan nyaman. Alangkah nikmatnya memang kalau kita setiap saat kita dapat berkumpul dengan orang-orang seperti itu. Kehadiran yang memberikan energi positif buat orang lain, hmmm....betapa hidup yang mulia.
Akankah aku dikenang demikian oleh orang lain saat aku telah pergi? Mampukah aku membahagiakan orang-orang di sekitarku? Yang jelas aku tak ingin berkhir seperti Amrozi Cs, yang perilakunya selama hidup telah menyebar teror dan kedukaan bagi banyak orang.
Rabu, 21 Mei 2008
Pesan Seorang Anak untuk Ayah dan Ibu
3. Jangan biarkan aku memiliki kebiasaan buruk. Kuharap ayah dan ibu dapat mencegahku.
4. Jangan menganggapku selalu sebagai anak kecil. Hal itu hanya akan membuatku bersikap kekanakan.
5. Kalau bisa, jangan mengoreksi kesalahanku di depan umum. Nasehatmu akan lebih menyentuh hatiku bila kalian degan tenang mengajak aku bicara secara pribadi.
6. Jangan membuatku merasa bahwa kesalahanku adalah dosa. Hal itu akan menghancurkan keyakinanku pada nilai-nilai yang harus kuanut.
7. Jangan takut untuk membuatku merasakan akibat dari perbuatanku, bahkan akibat yang buruk sekalipun. Kadang-kadang aku perlu belajar dari kesalahanku.
8. Jangan terlalu gusar saat aku berkata ‘Aku membencimu’. Bukan dirimu yang kubenci, namun kekuasaanmu yang mengekangku.
9. Jangan terlalu perhatikan rengekanku untuk hal-hal kecil. Itu hanya caraku untuk mendapatkan perhatianmu.
10. Jangan berteriak padaku. Hal itu hanya akan membuatku melindungi diri dengan berpura-pura tak mendengarmu.
11. Jangan lupa bahwa aku belum bisa menyampaikan dengan jelas pikiran dan perasaanku sehingga aku tak selalu bisa memberikan gambaran yang tepat tentang diriku.
12. Jangan abaikan aku saat aku bertanya. Kalau Ayah dan Ibu melakukannya, aku akan berhenti bertanya pada kalian dan akan mencari penjelasan dari tempat lain.
13. Jangan bersikap tak konsisten. Hal itu hanya akan membuatku bingung dan tak percaya lagi pada kalian.
14. Jangan anggap remeh rasa takutku. Rasa takut itu nyata dan banyak yang dapat Ayah dan Ibu lakukan untuk membantuku jika kalian mau mencoba memahaminya.
15. Jangan coba meyakinkan aku bahwa kalian adalah orang yang sempurna. Aku akan sangat kecewa bila suatu saat menemui kenyataan bahwa Ayah dan Ibu tak sesempurna yang kubayangkan.
16. Jangan berpikir bahwa meminta maaf padaku hanya akan mengurangi wibawamu. Permintaan maaf yang tulus akan membutku sangat menghargai Ayah dan Ibu.
17. Jangan lupa, aku sangat suka mencoba-coba berbagai hal. Itu adalah caraku belajar. Jadi biarkanlah aku malakukannya.
18. Jangan lupa juga betapa cepatnya aku tumbuh besar. Pasti berat bagi Ayah dan Ibu untuk menyesuaikan perlakuan kalian untuk setiap tahap perkembanganku. Tapi demi kebaikanku, lakukanlah.
19. Jangan lupa bahwa aku tak akan berhasil tanpa cinta dan pengertian dari Ayah dan Ibu. Tapi tak perlu selalu aku sampaikan hal itu kan?
20. Tetaplah sehat karena aku masih sangat membutuhkan kalian.
Judul Asli: Memo From A Child To Parents
Sumber: http://www.soundvision.com/info/parenting/
Selasa, 01 April 2008
Senin, 24 Maret 2008
Kubus Kecil
Minggu, 09 Maret 2008
Kubus Untuk Belajar Membaca

Sejak kapan sih putra-putri kita dapat diajarkan membaca? Sedini mungkin. Namun pada usia dini yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan minat dan kesiapan membaca, bukan mengajarinya membaca.
Sejak usia 3 bulan, persiapan membaca dapat dimulai dengan membangun kemampuan untuk membedakan dan mengingat aneka bentuk secara visual. Bapak dan ibu dapat mulai mengenalkan mereka pada aneka mainan yang menampilkan bentuk segitiga, segiempat (kubus, persegi panjang), bintang, dan lingkaran. Dengan ini bayi disiapkan untuk mengenal aneka bentuk huruf.
Nah, untuk itu aku membuat kubus yang ini. Bahannya dari kain flanel lembut, keenam sisinya dihiasi gambar beragam bentuk geometris dengan warna-warna kontras. Selain untuk sarana belajar, kubus ini pasti juga dapat menjadi mainan untuk bayi. Ukurannya 10 x 10 cm, cukup nyaman untuk dipegang anak.
Kamis, 06 Maret 2008
Petualangan di Lorong-lorong Pasar Senen
Salah satu masa yang tak pernah terlupakan di masa kuliah adalah masa berburu buku-buku murah. Maklum mahasiswa, minat baca besar tapi isi kantong tak mencukupi untuk beli buku. Untungnya di kampus sering ada bursa buku murah. Pesertanya selain penerbit-penerbit besar juga pedagang-pedagang buku bekas dari pasar Senen. Walaupun disebutkan buku murah tapi harga sebuah buku baru dari penerbit besar masih terbilang mahal untuk kantongku yang uang bulanannya masih tergantung kiriman ortu. Maka buatku yang paling menarik justru lapak buku bekas dari Senen itu. Walaupun buku-buku yang dijual adalah buku bekas (kalau pun ada yang baru adalah buku bajakan atau buku salah cetak dari penerbit) tapi aku bisa betah lama-lama nongkrong di sana. Rasanya seakan sedang bertualang ke dunia lain saat jongkok di depan lapak, membolak-balik buku yang bertumpuk-tumpuk sambil ngobrol dengan si abang penjual buku. Apalagi kalau sudah menemukan buku yang menarik wah...rasanya seakan dapat durian runtuh!
Tapi perjuangan belum selesai. Masih ada proses tawar-menawar harga buku yang butuh keterampilan sendiri. Pedagang-pedagang itu juga menguasai ilmu psikologi lho... Walaupun kita ingin sekali membeli buku yang sudah ditemukan, menawarnya tetap harus dengan tampang ‘cool’. Sekali mereka tahu kita sangat bernafsu dengan sebuah buku, mereka akan pasang harga tinggi dan bertahan tak mau menurunkan harga hingga akhirnya kita menyerah, pergi dengan gigit jari atau membayar dengan harga tinggi. Ada yang bertahan dengan pasang tampang sangar, ada yang memberi alasan bukunya bagus dan langka, ada juga yang hanya menggeleng-geleng kepala tak jelas apa artinya. Jadi seperti psy-war hehehe... siapa yang pintar menggertak bisa menang....
Aku adalah penggemar buku-buku karangan Karl May, selain komik-komik Asterix dan Tintin. Kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou yang ditulis oleh Karl May sangat memukauku sejak kecil. Tapi sayang di toko buku jarang sekali karangan Karl May ditemukan. Maka jadilah lapak-lapak buku bekas itu sebagai tempat alternatif berburu buku idaman. Perburuanku akhirnya membawaku bertualang ke lorong-lorong di pinggiran terminal Senen, markas para penjual buku bekas yang sering diundang ke kampus. Pelan-pelan koleksi buku Karl May mulai bertambah. Walaupun tidak semua dalam kondisi yang masih bagus asalkan masih terbaca aku sudah senang sekali. Karena sering datang ke sana aku jadi akrab dengan mereka. Akhirnya hampir semua pedagang tahu aku ‘pemburu buku Winnetou’ dan kalau melihat aku datang mereka langsung menyapa sambil bertanya sudah lengkapkah koleksi buku Winnetou-ku. Bahkan ada yang berinisiatif mencarikan buku-buku tersebut, menyimpankannya sampai aku datang lagi ke tempat mereka.
Temanku-temanku banyak yang merasa takjub akan keakrabanku dengan para pedagang itu. ‘Sama-sama Batak sih, ya gampanglah urusannya”. Begitulah komentar yang sering dilontarkan teman-teman. Ya, sebagian besar pedagang itu berasal dari Tapanuli dan kesamaan latar belakang suku kami mungkin membuatku lebih mudah menjalin komunikasi dengan mereka. Tapi apakah hanya karena itu? Tentu tidak. Tak sedikit dari mereka yang juga memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan pengetahuan umum yang luas. Hidup di kota besar dan mencari nafkah di sektor nonformal membuat mereka menjadi orang-orang yang gigih. Kalau kita mau meluangkan cukup waktu untuk bicara dengan mereka, kita akan diajari bagaimana cara bertahan hidup dengan gigih. Kalau si pembeli sudah jadi segigih sang pedagang, proses tawar menawar buku pasti jadi lebih seru ya?
Rabu, 05 Maret 2008
Contoh Buku Flanel Buatanku
Senin, 03 Maret 2008
Jumat, 29 Februari 2008
Buku untuk Ruby
Aku membuat buku-buku dari kain flanel sebagai alat belajar dan bermain untuk anak, khususnya anak balita. Semua bermula dari kejadian 1,5 tahun yang lalu, saat aku mencari buku yang cocok untuk Ruby, putra keduaku yang kala itu masih berusia 6 bulan.
Saat itu aku merasa senang sekali melihat Sarah, putriku yang berumur 3,5 tahun, telah dapat membaca. Berhubung masih ‘kemaruk’ membaca, semua jenis bacaan dilahap dan berbagai pertanyaan pun bermunculan dari mulut kecilnya. Untung dulu ketika masih kuliah aku rajin mengoleksi buku-buku bacaan anak sehingga banyak persediaan buku untuk dibacanya. Aku jadi ingat, karena rajin berburu buku aku sampai akrab lho dengan abang-abang penjual buku loak di Pasar Senen.
Melihat begitu bersemangatnya sang kakak membaca, Ruby, adiknya ikut rajin ‘membaca’ buku-buku tersebut. Tapi biasanya lima menit kemudian buku-buku itu telah berubah bentuk menjadi segumpal kertas yang robek dan basah. Maklum, usianya saat itu baru 6 bulan dan baru bisa mengenali dunia dengan meraba dan memasukkan benda-benda ke mulutnya. Aku harus memutar otak untuk menjaga agar koleksi bukuku tetap awet namun minat baca Ruby yang mulai muncul tetap terwadahi.
Mengingat usianya yang masih kecil, buku-buku yang cocok untuknya pasti adalah buku-buku yang ‘tahan banting’ seperti yang berbahan kertas tebal, plastik, atau buku-buku kain. Tapi di tempat tinggalku di Cilegon buku-buku seperti itu sulit sekali kuperoleh. Kalaupun ada harganya jadi mahal sekali. Sebagai ibu yang pantang putus asa , akhirnya aku memutuskan untuk membuat sendiri buku baginya. Rasanya senang sekali waktu melihat matanya yang berbinar dan ekspresi senangnya saat menerima buku flanel yang kujahitkan untuknya. Seketika buku itu menjadi mainan favorit, karena selain bisa ‘dibaca’ buku itu juga bisa ditarik dan digigit dan tak jadi rusak.
Dari satu buku kemudian tercipta buku-buku lainnya. Dari buku pertama yang berisi bentuk-bentuk dasar (segitiga, segiempat, lingkaran), kini bertambah dengan buku-buku seri hewan, kendaraan, dan buah-buahan. Kalau anakku bisa senang dengan buku yang kubuat, mungkin anak lain juga akan menyenangi buku tersebut. Pikiran bisnis mulai muncul. Promosi dari mulut ke mulut mulai berjalan dan pesanan mulai berdatangan. Saat ini aku sedang mengembangkan beberapa ide untuk membuat seri baru dari buku-buku flanelku. Semoga hasilnya bermanfaat, selain untuk menjadi mainan juga dapat menjadi alat belajar bagi putra-putri kita. Terima kasih Ruby yang telah memberikan inspirasi bagi ibu untuk melakukan sesuatu menyenangkan dan bermanfaat.